Namun disisi lain benda seperti satelit, pesawat ulang-alik dan stasiun luar angkasa justru bisa berada di ketinggian yang sama dan bahkan bisa terus memutari orbit Bumi tanpa jatuh sama sekali?
Padahal semua objek itu sama-sama berada di luar angkasa dan berada di bawah pengaruh gravitasi Bumi. Lalu mengapa hal ini bisa terjadi?
Jawaban secara singkat sebenarnya terletak pada kecepatan dan lintasan masing-masing dari objek tersebut. Adapun penjelasan lebih lengkapnya bisa disimak langsung pada ulasan berikut ini.
Perbedaan Meteor dan Satelit saat Di Orbit Bumi
1. Gravitasi dan Kecepatan
Pada dasarnya gravitasi bumi bisa menarik semua objek yang ada di dekatnya, baik itu meteor, asteroid, satelit, maupun wahana luar angkasa lainnya. Tapi ada satu perbedaan paling mendasar antara benda asing seperti meteor/asteroid dengan wahana luar angkasa, yaitu adanya perbedaan pada kecepatan.
Meteor dan asteroid yang mendekati bumi biasanya datang dari luar angkasa dengan lintasan yang mengarah langsung menuju atmosfer bumi.
Dimana kedua benda tersebut tidak memiliki kecepatan horizontal yang cukup untuk tetap berada di orbit bumi. Sehingga saat mencapai ketinggian tertentu keduanya akan langsung terhisap oleh gravitasi dan jatuh ke permukaan bumi.
Ini yang menyebabkan kita bisa melihat fenomena yang dinamakan "bintang jatuh" saat meteor terbakar di dalam lapisan atmosfer.
Sebaliknya, satelit dan wahana luar angkasa termasuk pesawat ulang-alik diluncurkan menggunakan roket peluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi dan juga sangat terukur (sebagian besar roket peluncur bisa mencapai kecepatan sekitar 28.000 km/jam).
Hal inilah yang kemudian menciptakan jalur melingkar atau elips di sekitar bumi, yang disebut dengan orbit. Dalam kondisi ini, satelit dan benda luar angkasa yang dikirim dari bumi berada dalam kondisi jatuh bebas terus-menerus, tetapi tidak benar-benar jatuh ke permukaan bumi karena kecepatan yang tinggi dan membuatnya bisa tetap berada dalam jalur orbit.
2. Orbit Merupakan Jalur yang Tepat
Saat satelit, pesawat ulang-alik maupun stasiun luar angkasa diluncurkan, ketiganya ditempatkan di jalur melingkar yang tepat (orbit) untuk menjaga keseimbangan antara gravitasi dan kecepatan.
Misalnya, Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) yang dikirim di orbit rendah bumi pada ketinggian sekitar 400 km (disebut orbit LEO). Pada ketinggian ini, ISS akan bergerak dengan kecepatan mencapai 28.000 km/jam, yang cukup untuk menjaga orbitnya dan terus mengelilingi Bumi setiap 90 menit sekali.
Sementara itu benda asing seperti meteor dan asteroid tidak memiliki jalur tetap ini. Ketika sebuah asteroid mendekati bumi, lintasannya tidak selalu berada di orbit yang stabil.
Akibatnya jika lintasan terlalu dekat, maka asteroid akan tertarik oleh gravitasi bumi dan jatuh ke atmosfer, tanpa kesempatan untuk membentuk orbit yang melingkar.
3. Atmosfer Bumi sebagai Pelindung
Saat meteor atau asteroid memasuki atmosfer bumi, keduanya akan mengalami gesekan dengan udara. Gesekan ini menghasilkan panas yang sangat luar biasa, yang umumnya akan menyebabkan meteor terbakar habis sebelum mencapai permukaan bumi.
Inilah mengapa kita melihat meteor sebagai kilatan cahaya di langit malam saat jatuh. Namun, jika asteroid memiliki ukuran yang cukup besar, maka sebagian dari objek tersebut mungkin saja dapat bertahan dan bahkan bisa mencapai permukaan bumi yang kita kenal sebagai meteorit.
Sementara itu, satelit dan wahana luar angkasa lainnya setelah proses peluncuran selesai akan di tempatkan di ketinggian tepat di luar atmosfer, sehingga tidak akan mengalami gesekan yang signifikan dan bisa tetap berada di dalam orbit tanpa terbakar ataupun jatuh.
Cara Satelit dan Pesawat Ulang-Alik Kembali ke Bumi
Lalu muncul pertanyaan lagi, bagaimana pesawat ulang-alik dan juga satelit yang sudah diluncurkan ke luar atmosfer bumi bisa kembali lagi.
Nah pada dasarnya untuk bisa kembali ke bumi dari lintasan orbit, suatu pesawat luar angkasa, satelit, maupun modul astronot lain harus melakukan apa yang disebut dengan manuver de-orbit. Dimana pada pelaksanaannya proses ini melibatkan beberapa tahapan.
1. Penurunan Kecepatan (De-Orbit Burn)
Pertama pesawat luar angkasa atau satelit harus mengurangi kecepatan orbitalnya terlebih dahulu. Hal ini dilakukan dengan cara menyalakan mesin roket atau sistem pendorong untuk melakukan proses de-orbit burn.
Dengan mengurangi kecepatan, maka orbitnya akan menjadi lebih rendah, dan titik terendah dari orbit (periapsis) sudah masuk ke dalam atmosfer bumi. Tanpa melakukan manuver ini, objek wahana angkasa akan tetap berada di lintasan orbit.
2. Masuk ke Atmosfer (Atmospheric Re-entry)
Setelah mencapai atmosfer, pesawat luar angkasa mulai mengalami gesekan dengan udara yang semakin padat.
Gesekan ini dapat menghasilkan panas yang sangat ekstrem, sehingga pesawat luar angkasa perlu memiliki perisai termal khusus (heat shield) untuk melindunginya dari suhu tinggi. Selama fase ini, gaya hambatan udara memperlambat objek tersebut.
3. Tahap Pendaratan
Setelah melambat di atmosfer, pesawat luar angkasa akan mengurangi kecepatan lebih lanjut menggunakan parasut atau sistem pendaratan lainnya. Jika kendaraan tersebut dirancang untuk mendarat di darat, seperti jenis kapsul Soyuz buatan Rusia, maka proses pendaratan akan menggunakan parasut dan juga sistem roket untuk pendaratan yang lebih halus.
Lalu jika kendaraan luar angkasa tersebut dirancang untuk mendarat di laut seperti jenis kapsul Apollo buatan Amerika, maka umumnya akan mengandalkan parasut saja dan akan melakukan pendaratan di air laut.
Sementara untuk kendaraan jenis pesawat luar angkasa berawak berupa pesawat ulang-alik (space shuttle) seperti pesawat challenger dan discovery. Biasanya akan memanfaatkan sayap untuk bisa mendarat di landasan pacu seperti halnya pesawat komersial biasa.
Terlepas bagaimana cara mendaratnya, yang pasti manuver untuk bisa kembali ke bumi ini memerlukan perencanaan yang hati-hati dan juga pelaksanaan yang tepat.
Hal ini tentu saja bertujuan untuk memastikan bahwa wahana luar angkasa bisa masuk kembali ke atmosfer pada sudut yang tepat.
Sebab jika sudut masuk yang terlalu curam, maka pesawat dapat mengalami panas dan menghasilkan gaya yang berlebihan, dan bisa berakibat pada meledaknya wahana luar angkasa tersebut
Sementara jika terlalu datar, maka wahana tersebut dapat memantul kembali ke luar angkasa atau bisa juga tetap bisa memasuki atmosfer namun karena terlalu lambat akan mendarat di lokasi yang jauh dari titik yang sudah ditentukan.
No comments