Monumen situs makam juang mandor, sumber foto: kemdikbud.go.id |
Setelah masa kolonialisme Belanda selesai, bukan berarti penjajahan di Indonesia (Hindia Belanda) pun berakhir. Justru penderitaan yang dialami bangsa Indonesia pada waktu itu semakin parah dan semakin menderita.
Setelah dari Belanda, penjajahan kemudian beralih kepada masa pendudukan Jepang. Walaupun kekuasaan Jepang hanya sekitar 3,5 tahun, namun dampaknya sangat luar biasa sekali bagi kehidupan bangsa Indonesia sendiri. Bukan memberikan kemajuan akan tetapi menghasilkan kesengsaraan yang lebih daripada sebelumnya.
Menurut catatan sejarah, zaman pendudukan Jepang merupakan suatu zaman dimana bangsa Indonesia mengalami kelaparan, penderitaan, kemiskinan, ketakutan, dan darah. Dan datangnya Jepang ternyata sama saja dan tidak ada bedanya dengan masa kolonialisme Belanda.
Diperkirakan terdapat sekitar 4 juta orang korban jiwa akibat dari kekejaman pendudukan Jepang. Salah satu peristiwa yang paling banyak mendatangkan korban jiwa dari pendudukan Jepang adalah peristiwa mandor yang terjadi di Kalimantan Barat.
Latar Belakang Peristiwa Ini
Mandor merupakan nama sebuah kota kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Landak, sekitar 88 kilometer timur Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat.
Di kota ini pada masa pendudukan Jepang terdapat suatu peristiwa yang dikenal dengan sebutan "peristiwa mandor". Peristiwa ini merupakan sebuah tragedi penghabisan nyawa secara besar-besaran terhadap tokoh masyarakat dan rakyat yang dilakukan oleh para tentara Jepang.
Peristiwa ini dikenal oleh masyarakat Kalimantan Barat dengan istilah sungkup, yaitu dimana kepala para korban oleh tentara Jepang ditutupi dengan menggunakan sebuah karung yang digiring ke Mandor sebelum di eksekusi dengan cara ditembak atau dipancung.
Dari kejadian tersebut, korban yang gugur diperkirakan mencapai 21.037 orang, hal itu berdasarkan data yang telah dicocokkan dengan angka yang ada pada dokumen perang Jepang di Tokyo. Meskipun demikian, dari pihak Jepang sendiri membantahnya dan mengakui hanya ada 1000 korban saja dari peristiwa berdarah tersebut.
Jalannya Tragedi Mandor yang Mencekam
Zaman pendudukan Jepang lebih menyeramkan daripada masa pendudukan Belanda. Peristiwa ini terjadi akibat adanya ketidaksukaan penjajah Jepang terhadap para pemberontak. Karena ketika itu Jepang ingin menguasai seluruh kekayaan yang ada di Bumi Kalimantan Barat.
Pada awalnya, peristiwa ini tidak banyak diketahui oleh warga sekitar. Warga hanya tahu bahwa orang-orang yang dibawa oleh Jepang itu termasuk orang-orang penting di Kalimantan Barat, dibawa untuk diasingkan ke luar daerah seperti halnya kebiasaan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda pada masa Kolonialisme.
Namun kemudian warga tahu bahwa itu merupakan sebuah genosida, setelah mereka melihat sendiri bagaimana para korban dipenggal oleh para tentara Jepang.
Sebelum terjadi peristiwa mandor, terjadilah peristiwa cap kapak dimana pada waktu itu pemerintah Jepang mendobrak pintu-pintu rumah rakyat, mereka tidak ingin adanya pemberontak-pemberontak yang terdapat di kalimantan barat.
Jepang pada waktu itu melakukan pelarangan untuk menggunakan pisau oleh rakyat. Jepang sebelumnya memang telah menyusun rencana genosida terhadap semangat perlawanan rakyat Kalimantan Barat pada waktu itu.
Sebuah koran yang cukup dikenal di Kalimantan Barat pada waktu itu, koran Jepang Borneo Shinbun, mengungkap rencana tentara negeri samurai itu untuk menghukum kepada setiap kelompok yang mencoba memberontak terhadap kebijakan-kebijakan politik perang Jepang.
Selain itu, koran Borneo Sinbun pun setelah peristiwa itu terjadi mengungkapkan setidaknya ada 48 korban yang merupakan orang-orang penting di Kalimantan Barat dalam peristiwa tersebut. Adapun nama-nama dari korban yang meninggal dari tragedi ini yaitu :
J.E. Pattiasina, Syarif Muhammad Alkadri, Pangeran Adipati, Pangeran Agung, Ng. Nyiap Soen, Lumban Pea, dr. Rubini, Kei Liang Kie, Ng. Nyiap Kan, Panangian Harahap, Noto Soedjono, F.J. Loway Paath, C.W. Octavianus Lucas, Ong Tjoe Kie, Oeray Alioeddin, Gusti Saoenan, Mohammad Ibrahim Tsafioeddin, Sawon Wongso Atmodjo, Abdul Samad, dr. Soenaryo Martowardoyo, M. Yatim, Raden Mas Soediyono, Nasarudin, Soedarmadi, Tamboenan, Thji Boen Khe, Nasroen St. Pangeran, E. Londok Kawengian, W.F.M. Tewu, Wagimin bin Wonsosemito, Ng. Leong Khoi, Theng Swa Teng, dr. RM. Ahmad Diponegoro, dr. Ismail, Ahmad Maidin, Amaliah Rubini (istri dr. Rubini), Nurlela Panangian Harahap (istri Panangian), Tengkoe Idris, Goesti Mesir, Syarif Saleh, Gusti A. Hamid, Ade M. Arief, Goesti M. Kelip, Goesti Jafar, Raden Abdulbahri Danoeperdana, M. Taoefik, A.F.P Lantang, dan Raden Nalaprana.
Kesemuanya itu diyakini adalah korban-korban dari peristiwa genosida tersebut.
Tanggal 28 Juni diyakini sebagai hari pengeksekusian ribuan tokoh-tokoh penting masyarakat pada masa itu. Kronologi Peristiwa Masuknya tentara pendudukan Jepang bulan Juni tahun 1942 di Kalimantan Barat, ditandai dengan tindak kekerasan, perampasan, perampokan, pemerkosaan dan penindasan rakyat.
Karena penindasan itu kemudian seluruh suku, pemuka masyarakat, raja dan panembahan di Kalimantan Barat berkumpul dan bermusyawarah untuk menangani tentara pendudukan Jepang yang bertindak sewenang-wenang tersebut.
Namun, musyawarah tersebut tercium oleh Jepang karena ada mata-mata Jepang yang juga orang Indonesia ikut dalam musyawarah itu. Jepang kemudian tambah curiga ketika datang dua orang utusan dari Banjarmasin yakni dr. Soesilo dan Malay Wei, dimana secara diam-diam dua tokoh tersebut menyampaikan berita bahwa akan ada gerakan pemberontakan terhadap tentara pendudukan Jepang sekitar bulan Januari 1944.
Sialnya, rencana pemberontakan tersebut diketahui oleh tentara pendudukan Jepang sehingga mulailah terjadi penangkapan.
Penghilangan nyawa secara besar-besaran terjadi pada tanggal 20 Rokoegatsu 2604 atau tanggal 28 Juni 1944. Pada waktu itu kendaraan truk tertutup kain terpal berhenti di depan Istana Raja Mempawah. Para serdadu Jepang yang sudah siap dengan "katana" yang berada di pinggang kemudian turun terburu-buru menuju Istana.
Dengan alasan mengajak berunding, serdadu "Dai Nippon" itupun membawa Raja Mempawah. Kemudian menangkap pula Panangian Harahap dan Gusti Djafar, teman baik sang Raja. Mereka bertiga kemudian dengan tangan terikat diberi sungkup kepala terbuat dari bakul pandan, lalu dibawa ke atas truk yang sudah menunggu dari tadi.
Serdadu yang lain kemudian menempeli istana dan rumah kedua sahabat raja dengan plakat bertuliskan huruf kanji. Bunyinya "Warui Hito" yang artinya orang jahat. Ternyata saat itu tak cuma di rumah itu saja yang ditempeli.
Banyak sekali rumah-rumah di wilayah Kalimantan Barat yang di atas pintunya tertempel "Warui Hito". Dan itu artinya penghuni di rumah itu tidak akan kedatangan tamu lagi, karena sudah dicap jahat.
Masyarakat umum pun tak berani berkunjung ke rumah yang sudah di cap tersebut. Sebab mereka tahu, apabila mereka berani mendekat apalagi bertamu, berarti tak lama lagi rumahnya pun akan ditempeli dan dirinya disungkupi untuk dinaikkan ke atas truk.
Sehingga terjadilah apa yang dikenal dengan "Oto Sungkup". Mereka ditangkap dengan disungkup bakul, dibawa ke tempat eksekusi yang sekarang dinamakan Makam Juang Mandor. Sesampainya disana, mereka yang ditangkap diturunkan dari truk dan kemudian disuruh untuk menggali sendiri lubang tempat mereka akan dikuburkan.
Setelah lubang tersedia barulah Tentara Jepang dengan tanpa perikemanusiaan menyiksa dan memancung satu per satu leher korban dengan pedang samurainya. Sehingga terjadilah peristiwa yang dikenal dengan "Mandor Bersimbah Darah".
Banyak badan-badan yang terkubur terpisah dari kepalanya. Dan penghilangan nyawa secara sadis seperti itu terus berlanjut hingga tahun 1945, tentara pendudukan Jepang tak kenal kompromi terus menangkap dan mengeksekusi rakyat Kalimantan Barat yang dianggap pemberontak dengan alasan ingin mendirikan negara Borneo Barat.
Alasan Kenapa Periwstiwa Tersebut Bisa Terjadi
Peristiwa yang terjadi di mandor pun ternyata mempunyai maksud terselubung dari pihak Jepang sendiri. Dengan wilayah yang cukup besar dan penduduk yang relatif sedikit, rencananya Jepang akan membuat Kalimantan Barat seperti Manchuria atau Korea.
Awalnya Jepang akan meghabisi rakyat Kalimantan Barat hanya yang berumur dua belas tahun keatas. Sedangkan orang yang berumur dua belas tahun kebawah atau anak-anak, akan dididik dengan budaya Jepang.
Setelah itu Jepang akan mengirimkan dan menyuruh penduduk Jepang untuk bertransmigrasi ke Kalimantan Barat. Sehingga diharapkan sekitar 50 tahun kedepan Kalimantan Barat akan menjadi wilayah seolah-olah asli Jepang, dengan penduduk dan budayanya langsung dari bangsa Jepang.
Peristiwa semacam itu tidak hanya terjadi di kota Mandor saja, tetapi terjadi juga di daerah pedalaman Kalimantan Barat. Hal itu terjadi ketika Jepang datang membawa dua perusahaannya, yaitu Nomura yang bergerak di bidang pertambangan dan Perusahaan Sumitomo yang bergerak di bidang perkayuan.
Perusahaan tersebut di bantu oleh militer Jepang, sehingga banyak rakyat Kalimantan Barat yang disuruh melakukan kerja paksa (Romusha) yang tidak sedikit diantara mereka mengalami kematian. Contohnya saja di daerah Petikas Kapuas Hulu dimana terdapat sekitar 70.000 orang baik remaja hingga dewasa dipekerjakan secara paksa.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1976-1977 Pemerintah Daerah Tingkat I Kalimantan Barat membangun sebuah monumen di Mandor. Kompleks monumen tersebut memiliki plaza yang luas, dimana disekelilingnya dibuat dinding beton.
Monumen ini berada sekitar 500 meter dari gerbang Ereveld (kuburan). Monumen tersebut diberi nama Monumen Juang Mandor, yang setelah selesai pengerjaannya kemudian diresmikan monumen tersebut oleh Gubernur Kalimantan Barat pada waktu itu yaitu Kadarusno bersamaan dengan ziarah massal pada tanggal 28 Juni 1977.
Namun sayang, peristiwa yang yang mengorbankan nyawa banyak ini seolah nyaris terlupakan, setiap tanggal 28 Juni masih banyak masyarakat Kalimantan Barat yang tidak ikut serta mengibarkan bendera setengah tiang untuk mengenangnya.
Selain itu bentuk penghargaan kepada para pejuang dalam peristiwa ini seperti penganugerahan gelar Pahlawan Nasional juga tak menyentuh seorang nama pun dari 21.037 korban tersebut.
Baca Juga : Agama yang dianut oleh Orang Jepang
Penjajahan adalah merupakan suatu hal yang sangat mengerikan. Peristiwa Mandor ini adalah salah satu contohnya, peristiwa Genosida terhadap suatu etnis, atau bangsa tertentu.
Berbagai catatan sejarah sudah seharusnya dijadikan oleh anak bangsa terutama kita yang ada pada saat ini agar dapat mengenang jasa-jasa mereka yang telah mempertaruhkan segalanya demi kemerdekaan bangsa ini.
Semoga hal ini tentunya dapat menjadi contoh serta teladan agar masyarakat dapat bersemangat dalam upaya mengisi kemerdekaan yang telah dicapai oleh para pahlawan yang telah gugur dengan susah payah ini.
No comments