Seperti yang kita tahu bahwa Pretorian merupakan peristiwa masuknya suatu militer kedalam politik pemerintahan suatu negara.
Penyebab dari pretorian dapat sangat beragam misalnya saja yaitu adanya sikap ketidakpercayaan dari pihak militer terhadap rezim yang sedang berkuasa, dikarenakan rezim yang sedang berkuasa tersebut dianggap tidak mampu untuk menjalankan roda pemerintahan, atau bisa juga karena alasan lainnya.
Agar kita dapat mengetahui lebih jelas mengenai istilah pretorian ini, maka silahkan baca artikel berikut tentang Istilah Pretorian Dalam Dunia Politik.
Di wilayah Asia Tenggara sendiri, pretorian ini sudah pernah terjadi dan salah satu negara yang pernah mengalaminya yaitu Negara Burma atau sekarang lebih dikenal sebagai Myanmar.
Ne Win (sumber: wikipedia.org) |
Di wilayah Asia Tenggara sendiri, pretorian ini sudah pernah terjadi dan salah satu negara yang pernah mengalaminya yaitu Negara Burma atau sekarang lebih dikenal sebagai Myanmar.
Pada Tahun 1962 Pemerintahan Myanmar yang dipimpin oleh U Nu mengalami kudeta oleh pihak militer negaranya sendiri yang dilakukan oleh panglima angkatan bersenjata Myanmar pada saat itu bernama Jenderal Ne Win.
Pada masa awal kudeta, Ne Win memanfaatkan kesempatannya ketika pemerintahan Myanmar yang dipimpin oleh U Nu sangat berhati-hati sekali terhadap adanya pengaruh dari luar. Hal ini terjadi akibat dari adanya pengalaman buruk Myanmar pada saat melawan penjajahan Inggris dan Jepang, serta adanya ancaman dari Cina dan Amerika.
Namun karena adanya sikap hati-hati inilah yang kemudian menyebabkan partai politik anti fasis di Myanmar mengalami perpecahan antara U Nu dan U Ba Swe, dan hal itu yang kemudian dimanfaatkan oleh Ne Win untuk melakukan gerakan militer dengan masuk ke panggung politik.
Pada saat berkuasa, pemerintahan militer memegang kekuasaan secara otoriter dan tidak menyukai adanya campur tangan pihak asing. Tindakan Ne Win ini merupakan sebuah usaha untuk merubah sistem yang ada di Myanmar dan dengan begitu Ne Win berfikir untuk dapat berkuasa lama di Myanmar.
Di bawah kepemimpinan Ne Win Partai Sosialis menjadi bagian penting selama Ne Win berkuasa, hal ini dikarenakan Partai Sosialis digunakan Ne Win sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaannya. Selain itu, pada saat berkuasa Ne Win kemudian melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang ada di Myanmar.
Kudeta militer di myanmar yang dilakukan oleh Ne Win pada tahun 1962 dapat dikatakan sebagai jenis pretorianisme tipe penguasa atau rezim militer. Hal ini disebabkan karena Ne Win hampir berkuasa selama 26 tahun.
Arogansi junta militer pimpinan Ne Win dapat dikatakan mirip dengan ABRI ketika zaman Soeharto. Tatmadaw sebutan angkatan bersenjata Myanmar selalu mengklaim dirinya sebagai institusi yang paling berjasa dalam memperjuangkan atau mempertahankan kemerdekaan.
Menonjolkan prestasi dengan mengklaim telah menyelamatkan negara yang nyaris hancur oleh pemberontakan Partai komunis Myanmar dan lebih dari 50 kelompok etnis pemberontak sejak tahun 1950-an. Di sisi lain sipil di nilai gagal, tidak sanggup untuk memimpin negara karena konflik di tingkat elit politik.
Ketika situasi darurat, sipil menyerahkan tanggung jawab pada militer. Seperti dilakukan Perdana Menteri U Nu ketika menunjuk Kepala Staf Angkatan Bersenjata Ne Win sebagai pelaksana sementara PM (1958-1960).
Seperti halnya Soeharto yang menggulingkan kekuasaan Soekarno pada waktu itu dengan berbekal Surat Perintah Sebelas Maret 1966, Ne Win juga melakukan hal yang sama terhadap U Nu yaitu dengan legitimasi yang hampir sama.
Junta militer semakin kuat dan pada saat yang sama kekuatan sipil pun semakin melemah. Inilah hal utama yang menyebabkan kekuatan sipil tak mampu mengimbangi tentara yang secara sistematis menguasai negara di segala aspek.
Meski sama-sama militer yang menurut teori masuk dalam kategori pretorian, Orde Baru dapat dikatakan jauh lebih sukses karena melahirkan kelas menengah baru, masyarakat sipil yang kritis dan terbentuknya media massa, meskipun pada akhirnya mereka para kelas menengah baru itu justru bersama-sama menjatuhkan rezim Orde Baru.
Sedangkan di Myanmar tidak melahirkan kelas menengah yang mandiri, media massa dan masyarakat sipil yang kuat pun tidak ada akibat telah diberangusnya hal itu sejak 1988 dan memang sengaja dimandulkan.
Myanmar benar-benar menumpas dan mengharamkan kelas menengah tumbuh. Para aktivis pro-demokrasi Myanmar tak leluasa bergerak di dalam negeri, mereka lebih leluasa melakukan perjuangannya di luar negeri seperti di Thailand.
Baca Juga : Masa Pemerintahan VOC di Indonesia
Indonesia dan Myanmar keduanya memiliki militer yang pretorian. Namun militer Indonesia dapat dipaksa menjadi profesional karena kombinasi tekanan oposisi termasuk para mahasiswa dan aktivis yang menduduki gedung parlemen kala itu.
Perpecahan di kalangan elit yakni mundurnya beberapa menteri penopang Orde Baru, dan dukungan masyarakat internasional ikut mempengaruhi. Sedangkan Myanmar hanya memiliki unsur yang terakhir saja.
Hal itu tentu sangat sulit untuk melakukan sebuah perubahan, karena pada dasarnya perubahan itu harus berasal dari dalam negeri (internal), sedangkan unsur eksternal hanyalah pendukung dari adanya perubahan itu.
No comments