Home
Daerah
Pengetahuan
Sejarah
Mengetahui Hukum Swapraja di Pulau Madura

Mengetahui Hukum Swapraja di Pulau Madura

peta pulau madura tahun 1922, sumber: wikipedia

Pada periode tahun 1680 hingga 1800, Madura pada masa itu diberikan sebuah wewenang oleh kompeni Hindia Belanda kepada Pemerintah Madura, dimana dengan wewenang tersebut Pemerintah Madura memiliki sebuah hak istimewa atau hak khusus, yang dikenal dengan istilah hak swapraja.

Hak ini merupakan sebuah keistimewaaan bagi setiap daerah yang diberikan hak tersebut, yakni daerah yang ditunjuk itu akan memiliki pemerintahan atau kedaulatannya sendiri.

Pemerintahan madura saat itu dikuasai dan dijalankan oleh seorang Bupati yang  dalam istilah lain biasa juga disebut Sultan, Raja, Sunan maupun istilah-istilah yang lainnya berdasarkan atas adat istiadat setempat yang berlaku.


Keistimewaan dari Hukum Swapraja

Dalam hal mengangkat para penguasa di daerahnya, kompeni memiliki hak untuk mengangkat siapa saja yang dikehendakinya dengan diberikannya suatu pemerintahan sendiri tanpa adanya batasan-batasan tertentu terhadap daerah tersebut.

Setiap pemerintahan swapraja akan mendapat perlindungan dari kompeni Hindia Belanda, namun dengan syarat bahwa daerah tersebut harus tunduk dan patuh kepada kompeni Hindia Belanda.

Dengan diberlakukannya sistem tersebut, ada beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh daerah swapraja yang tentu tidak dimiliki oleh daerah lain. Misalnya saja adanya Reglement voor de Regenten yaitu peraturan mengenai para Bupati dan kebijakan hak raja-raja bumiputera untuk diadili di depan pengadilan tinggi, namun hal itu tidak berlaku terhadap pemimpin atau raja di Pulau Madura.

Ini seperti halnya keistimewaan yang dimiliki oleh sebagian raja-raja yang ada di Pulau Jawa. Hal itu terjadi dikarenakan adanya hak swapraja tersebut, ditambah lagi adanya ikatan primordial yang berlaku di daerah kekuasaan yang berada di Madura tersebut.


Kekuasaan yang Diberikan Pada Pemerintah Sumenep dan Pamekasan

Sesudah tahun 1680, Pemerintahan Sumenep yang berada di bawah kekuasaan Poelang Djeuwa pada masa itu memutuskan untuk tidak lagi tunduk kepada pemerintahan Pangeran Tjakra Ningrat dari Madura.

Hal ini dapat dilihat pada sebuah surat yang ditulis pada tahun 1686 yang menyatakan bahwa Bupati ingin memisahkan diri dari wilayah Madura.

Surat tersebut datang dari Pemerintahan Agung Kepada Heren XVII selaku pimpinan Kompeni di Negeri Belanda. Pemerintahan Sumenep lebih memilih untuk mengabdi kepada pemerintahan Kompeni.

Pada tahun 1702 Bupati Poelang Djeuwa meninggal yang menyebabkan adanya sebuah perselisihan tentang siapa yang harus menjadi pemimpin daerah Sumenep dan Pamekasan.

Pada tanggal 9 April 1705 di Semarang dipilihlah Cakra Negara sebagai pemimpin di daerah Sumenep dan Pemekasan yang berdasarkan atas usulan dewan Raad van Indie.

Namun Cakra Negara sebagai penguasa atau pemimpin di Sumenep dan Pamekasan harus tetap tunduk kepada kekuasaan Kompeni. Hal ini tentu sesuai dengan dibuatnya sebuah perjanjian antara kedua belah pihak dan selama itu pula Sumenep dan Pamekasan berada dibawah kekuasaan Kompeni.

Para Bupati di Sumenep dan Pamekasan juga mendapatkan sebuah gelar pangeran (Princelijke titel). Setelah beberapa tahun berada dalam kekuasaan, pemerintahan daerah di Madura khususnya Sumenep dan Pamekasan mendapat kebebasan.

Hal ini dilakukan setelah kompeni menyerahkan kekuasaannya yang meliputi semua daerah pesisir Madura dan daerah taklukannya beserta rakyat yang berada dalam wilayah kekuasaannya tanpa terkecuali.


Hingga abad ke-19 daerah Madura, khususnya daerah Sumenep dan Pamekasan tidak terjadi banyak perubahan yang besar dalam hal pemerintahan.

Diangkatnya Bupati Pamekasan pada tahun 1804 memliki tatacara yang sama ketika Bupati Surabaya diangkat dengan diangkatnya melalui sebuah surat yang isinya terdapat pasal-pasal yang berupa suatu ikatan politik.

Pada saat kekuasaan Raffles, para Bupati di Madura mendapatkan kenaikan gelar yang disahkan oleh Komisaris Jenderal tertanggal 7 Januari 1820 dan pada tanggal 29 November 1825 Bupati Sumenep diangkat dengan gelar Sultan. Sedangkan untuk Bupati Pamekasan mendapat gelar Panembahan.

Selain gelar-gelar yang telah diberikan tersebut, para Bupati di Sumenep dan Pamekasan juga mendapat kehormatan yaitu bahwa mereka para bupati akan dianggap sebagai Raja.


Penutup

Kesimpulannya adalah bahwa pemerintahan yang berada di Madura khususnya Sumenep dan Pamekasan merupakan sebuah pemerintahan yang diberikan hak istimewa atau kedaulatannya sendiri oleh Kompeni Hindia Belanda.

Pemerintahan tersebut akan mendapatkan sebuah perlindungan dari Pemerintah Hindia Belanda. Namun sebagai gantinya Kompeni Hindia Belanda berhak untuk memungut upeti dari dan juga bertugas untuk mengawasi sistem tanam paksa di daerah tersebut.

Kemudian dengan adanya ikatan primordial, hal itu justru dimanfaatkan oleh Hindia Belanda untuk mengangkat Bupati setempat dengan orang-orang yang mempunyai pengaruh cukup kuat di daerah tersebut. Hal ini tentu untuk memperkuat kekuasaan Hindia Belanda sendiri terhadap daerah jajahannya.

Para penguasa di daerah-daerah tersebut dijadikan sebagai boneka oleh para Kompeni. Para penguasa seperti Bupati ini hanyalah menjadi sebuah simbol dari kekuasaan saja. Di balik itu semua, terdapat tangan-tangan para Kompeni Hindia Belanda yang memainkan kebijakan-kebijakan yang ada di daerah tersebut.

Baca Juga : Masa Pemerintahan VOC Di Indonesia

Intinya ketika kita membahas sebuah penjajahan yang dilakukan oleh Hindia Belanda yang dikatakan terjadi selama ratusan tahun (350 tahun), tentunya hal tersebut perlu dipertanyakan dan ditinjau kembali.

Hal ini disebabkan karena pada kenyataannya penjajahan di Nusantara khususnya di Pulau Jawa dan Madura tidaklah semata-mata hanya dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda saja, melainkan juga ada campur tangan penguasa setempat yang ikut andil dalam penjajahan tersebut.

Penjajahan ini juga tidak berlaku atas seluruh wilayah di Nusantara yang mengalami penjajahan oleh Hindia Belanda dan tidak berlaku untuk semua lapisan masyarakat di Indonesia.

Contohnya saja kekuasaan yang ada di Pulau Madura ini, dimana para penguasannya tidak dapat tersentuh oleh hukum atau kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda karena daerah tersebut memiliki suatu hak istimewa, yang artinya dapat dikatakan bahwa madura tidak pernah dijajah oleh Belanda melainkan oleh pemerintahannya sendiri yang bekerjasama dengan kompeni Belanda.

No comments

Terima kasih telah berkunjung ke Blog ini. Bagi pengunjung silahkan tinggalkan komentar, kritik maupun saran dengan menggunakan bahasa yang baik dan sopan.
close