Kedatangan orang-orang etnis Tionghoa ke Indonesia pada awalnya, mereka pertama kali masuk yaitu hanya ke wilayah Pulau Jawa. Di antara wilayah-wilayah yang disinggahi orang-orang Tionghoa tersebut, beberapa diantaranya seperti wilayah tatar Sunda, Cirebon dan wilayah lain termasuk Jayakarta, Kalapa, dan juga Banten.
Hubungan yang pasti antara Indonesia dengan Tiongkok dimulai pertama kali sekitar abad ke-5 M, yaitu dengan adanya kedatangan Fa Hien dan Gunawarman seorang pendeta yang beragama Budha.
Selain itu juga adanya berita-berita yang ditulis oleh Dinasti Tsui dan Dinasti T’ang tentang utusan dari To-Io-Mo (diidentikan dengan nama Taruma) yang datang ke Tiongkok pada tahun 528 M, 535 M, 666 M, dan 669 M.
Saling adanya utusan-utusan tersebut dimaksudkan untuk membuat sebuah hubungan diplomatik. Selain itu juga hubungan tersebut terjalin dalam berbagai kegiatan seperti perekonomian atau perdagangan, kebudayaan, dan keagamaan.
Munculnya Tionghoa Peranakan
Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Indonesia juga tidak lepas dari ekspedisi pelayaran yang dilakukan oleh Laksamana besar Cina yang terkenal yaitu Laksamana Cheng Ho.
Laksamana Cheng Ho pernah melakukan pelayaran sebanyak tujuh kali, dan salah satu tujuan pelayaran yang pernah disinggahi olehnya yaitu Jawa, Lambri, dan Palembang.
Di Jawa Cheng Ho singgah dibeberapa Kota seperti Jepara, Lasem, Tuban, Gresik, Demak, Pekalongan, Cirebon, dan Sunda Kelapa. Di Kota-kota tersebut ada sebagian orang yang berpendapat bahwa Cheng Ho disana selama singgah melakukan dakwah Islam.
Mereka orang-orang Tionghoa yang kemudian menetap di Indonesia. dan kemudian membuat suatu pemukiman-pemukiman atau perkampungan-perkampunagan yang dikenal dengan nama "Pecinan".
Selain itu, sebagian dari mereka ada yang menjadi menjadi warga Indonesia yang kemudian berbaur dengan rakyat pribumi dan bahkan ada yang menikah, hingga melahirkan orang-orang Tionghoa peranakan.
Dengan masuknya orang-orang etnik Tionghoa ke Indonesia, maka otomatis kebudayaan setempat lambat laun akan terpengaruhi oleh kebudayaan etnik Tionghoa. Ada beberapa kebudayaan yang dibawa oleh orang etnik Tionghoa yang masuk ke Indonesia.
Pengaruh Budaya Tionghoa
Pertama adalah bahasa; orang-orang Tionghoa dalam berbahasa memiliki dialek-dialek yang berbeda. Namun pada umumnya orang-orang keturunan Tionghoa yang sudah lama bergaul dengan masyarakat pribumi biasanya menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa yang sehari-hari digunakan.
Sedangkan kebanyakan dari orang Tionghoa totok menggunakan bahasa atau dialek asing. Adapun orang-orang Tionghoa yang menggunakan bahasa Belanda yaitu mereka yang dekat atau selalu berhubungan dengan orang-orang Belanda.
Kepercayaan orang-orang Tionghoa yang berada di Indonesia pada dasarnya adalah kepercayaan yang mereka bawa dari negerinya mereka sendiri. Kepercayaan itu seperti Taoisme, Konfusianisme, dan Budhisme.
Taoisme merupakan ajaran yang dibawa oleh Lao Tze dengan kitabnya yaitu Tao Te Ching yang mengajarkan bagaimana manusia seharusnya mengikuti hukum alam yaitu dengan hidup secara wajar dan selaras dengan alam.
Kepercayaan yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa selanjutnya yaitu ajaran Konfusianisme, yaitu ajaran yang disebarkan oleh Konfusius atau Konghuchu dan ajaran tersebut merupakan ajaran yang paling banyak dianut oleh orang-orang di Cina.
Konfusianisme mengajarkan bahwa hidup ditujukan untuk mencapai kesejahteraan dan adanya hubungan yang harmonis antar sesama masyarakatnya. Dan ungkapan dari ajaran Konfusius yang terkenal adalah "Tidak berbuat kepada orang lain apa yang tidak disukai orang lain".
Selanjutnya adalah ajaran Budhisme, yang aslinya bukan berasal dari Tiongkok melainkan berasal dari India yang baru masuk Tiongkok pada abad ke-3 M. Budhisme di Tiongkok agak sedikit berbeda karena mengalami percampuran dengan kepercayaan sebelumnya.
Untuk melakukan ibadah, masyarakat Tionghoa kemudian mendirikan bangunan-bangunan peribadatan seperti kelenteng-kelenteng dan juga Wihara-wihara. Diantara kelenteng-kelenteng itu, yang terkenal adalah Kelenteng Talang yang dihubungkan dengan Cheng Ho.
Dalam kepercayaan mereka, pembangunan Kelenteng harus berdasarkan apa yang disebut dengan Fengsui, tujuannya agar kesejahteraan dan kebahagiaan bagi yang menempatinya dapat tercapai.
Untuk karya ragam hias dan seni bangunan, di daerah pasundan khususnya di Cirebon sangat terlihat dari keraton-keraton Cirebon seperti Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.
Pengaruh budaya tersebut dapat dilihat dengan pemakaian piring-piring Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang menghiasi tembok-tembok Sitinggil, gerbang keraton, dan beberapa hiasan-hiasan terdapat di dalam keraton yang dipengaruhi oleh budaya Tionghoa.
Selain itu, adanya bangunan masjid kuno dari zaman Tang yang arsitekturnya yaitu beratap tiga dengan saka gurunya yang berbentuk bulat, menyerupai Masjid Agung Demak dan Masjid Cipta Rasa Cirebon yang mirip dari segi arsitektur.
Selain dari segi arsitektur bangunan, pengaruh Tionghoa pun terasa dari beberapa kerajinan-kerajinan seperti keramik. Keramik-keramik tersebut banyak dipakai sebagai penghias tembok-tembok di Keraton Kasepuhan dan juga terdapat dimakam Sunang Gunung Jati.
Pengaruh Tionghoa didalam kuliner masyarakat Indonesia pun tidak terhindarkan. Beberapa contohnya yaitu seperti tauco, kecap, tauge, tahu, siomai, mie, bakso, bakpao, dan masih banyak lagi.
Sumber :
Uka Tjandrasasmita (Arkeologi Islam Nusantara)
Uka Tjandrasasmita (Arkeologi Islam Nusantara)
No comments