Ketika Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia kemudian mengklaim bahwa seluruh wilayah yang tadinya merupakan jajahan Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua (Irian Barat) adalah milik Indonesia. Namun demikian, pihak Belanda menganggap bahwa wilayah tersebut masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda.
Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua sebagai negara yang merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dan menentang hal tersebut, hingga pada akhirnya daerah Papua barat (Irian Barat) menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dengan Belanda.
Masalah ini sebelumnya sudah dibicarakan dalam beberapa pertemuan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar yang diadakan tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai Papua bagian barat, namun kedua belah pihak telah setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu satu tahun.
Kemudian setelah itu, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat yang dikenal dengan nama Tiga Komando Rakyat (Trikora). Trikora merupakan sebuah peristiwa yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam usahanya membebaskan dan menyatukan Irian Barat ke dalam wilayah NKRI. Adapun isi Trikora adalah sebagai berikut :
1. Gagalkan pembentukan Negara Papua buatan Kolonial Belanda
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia, dan
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air Indonesia.
Baca Juga : Dinamika Irian Barat setelah Operasi Trikora Berhasil
Realisasi pertama dari Trikora adalah dengan adanya pembentukan Komando Operasi Militer yang diberi nama Komando Mandala yang bertugas untuk Pembebasan Irian Barat. Komando Mandala ini dibentuk pada tanggal 2 Januari 1962 dengan komandannya yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto.
Dengan berbekal tekad dan semangat untuk membebaskan Irian Barat dari cengkraman kolonial Belanda, Komando Mandala melakukan tugas-tugas sebagai berikut :
1. Merencanakan, mempersiapkan dan menyelenggarakan operasi-operasi militer dengan tujuan pengembalian wilayah propinsi Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia.
2. Mengembangkan situasi di wilayah Propinsi Irian Barat sesuai dengan taraf perjuangan diplomasi dan dalam waktu yang singkat agar wilayah Irian Barat dapat diciptakan secara de facto wilayah-wilayah yang bebas atau diddukkan unsur-unsur kekuasaan pemerintah daerah Republik Indonesia.
Dalam rangka mempersiapkan kekuatan militer untuk merebut Irian barat, maka Pemerintah Republik Indonesia berusaha untuk mencari bantuan senjata kepada luar negeri dengan membeli peralatan senjata-senjata tersebut.
Pada mulanya pembelian senjata diharapkan berasal dari Negara-negara Barat terutama pada Negara seperti Amerika Serikat, namun harapan itu tidak terwujud. Kemudian setelah itu Pemerintah mengalihkan pembelian senjata kepada Negara-negara komunis dibawah pimpinan Uni Sovyet.
Pada bulan desember 1960, Msi Indonesia dibawah pimpinna Menteri Keamanan Nasional/KASAD A.H Nasution pergi ke Moskow. Misi ini berhasil mengadakan perjanjian pembelian senjata.
Setelah itu menyusul misi kedua tahun 1961 dan misi ketiga. Belanda mulai menyadari bahwa jika Irian Barat tidak diserahkan secara damai kepada Indonesia, maka Indonesia akan berusaha membebaskannya secara militer dengan melakukan sebuah operasi militer.
Pertempuran Laut Aru
Peristiwa Pertempuran Laut Aru merupakan dampak dan konfrontasi Indonesia dan Belanda akibat sengketa Irian Barat atau yang kini kita kenal sebagai Provinsi Papua Barat.
Hal tersebut bermula dari ingkarnya Pemerintah Kerajaan Belanda untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI, meskipun telah disepakati dalam Perjanjian Roem-Royen 1949, yang kemudian berujung dengan adanya Trikora tersebut.
Perseteruan Indonesia dan Belanda ini telah memasuki tahapan baru yaitu dari fase diplomasi menjadi konfrontasi di segala bidang. Guna melengkapi dan memodernisasi kekuatan militer nya, Indonesia membeli sejumlah besar peralatan tempur dari berbagai negara, antara lain Uni Soviet, Republik Federasi Jerman (Jerman Barat), Italia dan Yugoslavia.
Salah satu jenis peralatan militer yang didatangkan untuk memperkuat Jajaran Armada Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) adalah kapal perang jenis MTB (Motor Torpedo Boat) Klas Jaguar dari Jerman Barat.
Kapal perang jenis ini memiliki kemampuan untuk menembakkan torpedo anti kapal permukaan. Guna melaksanakan operasi infiltrasi (penyusupan) yang bertujuan memasukkan sejumlah pasukan gerilya ke Bumi Cenderawasih tersebut, ALRI mengerahkan 4 kapal perang jenis MTB, yaitu Rl Macan Tutul, RI Macan Kumbang, Rl Harimau dan Rl Singa.
Karena dipersiapkan untuk mengangkut pasukan, maka persenjataan utama andalan kapal perang jenis MTB ini yaitu torpedo, terpaksa dihilangkan, yang bertujuan agar kapal memiliki ruang yang lebih besar. Hal ini berakibat fatal ketika mereka terpaksa harus berhadapan dengan kapal perang musuh.
Dari keempat MTB tersebut, ternyata hanya 3 yang mampu bergerak hingga memasuki perairan Irian Barat, karena RI Singa mengalami kerusakan mesin. Namun di perjalanan tepatnya di posisi 4,49 derajat selatan dan 135,2 derajat timur ketiga MTB ALRI tersebut dihadang 3 kapal perang AL Belanda, yaitu Destroyer Klas Province Hr.Ms. Utrecht, Fregat Hr. Ms. Evertsen dan Korvet Hr.Ms. Kortenaer.
Sebelum dua pihak yang bermusuhan tersebut berpapasan, 2 pesawat intai maritim AL Belanda jenis Neptune dan Firefly telah lebih dahulu memergoki MTB ALRI dan selanjutnya mengirimkan berita ke kapal meraka. Akibatnya, terjadilah kontak senjata di tengah laut di Laut Aru.
Menyadari bahwa kekuatan tidak seimbang, ketiga MTB ALRI bermaksud menghindar, namun ketiga musuhnya tidak membiarkan mereka lolos begitu saja. Guna melindungi dua kapal lainnya, Rl Macan Tutul melakukan manuver bergerak maju secara lurus langsung menuju Hr.Ms Evertsen.
Manuver ini dipandang berbahaya, karena merupakan pertanda bahwa kapal berpeluncur terpedo akan meluncurkan terpedonya. Akibatnya, KRI Macan Tutul dihujani tembakan gencar hingga akhirnya tenggelam.
Sebagian awak RI Macan Tutul itu gugur dan sebagian lagi ditawan oleh Belanda. Sementara itu, dua MTB ALRI lainnya berhasil meloloskan diri dan tiba di pangkalannya dengan selamat.
Setelah berusaha untuk mempersiapkan operasi militer dengan membeli peralatan senjata. Tugas berat lainnya dialami oleh Komando Mandala sebagai salah satu operasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam merebut dan membebaskan Irian Barat.
Dalam menjalankan tugasnya tersebut, Komando Mandala merencanakan tiga fase dalam pembebasan Irian Barat. Ketiga fase itu adalah fase infiltrasi, fase eksploitasi dan fase konsolidasi.
Tahap infiltrasi atau penyusupan adalah tahap dimana pemerintah Indonesia memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan penguasaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat.
Tahap eksploitasi adalah tahap dengan melakukan atau mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan kemudian menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang penting.
Terakhir yaitu tahap Konsolidasi yaitu tahapan yang bertujuan untuk menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia secara mutlak di seluruh daerah Irian Barat.
Dalam tahapan tersebut, telah gugur putra terbaik Indonesia yakni Deputi I Kasal Komodor Yos Sudarso dan Kapten Wiratno sebagai Komandan Kapal Macan Tutul beserta sekitar 25 anak buah kapal (ABK) Rl Macan Tutul yang juga ikut menjadi korban. Mereka gugur beserta tenggelamnya kapal yang mereka tumpangi karena pertempuran di Laut Aru.
Pada 15 Januari 1962 peristiwa laut Aru itu terjadi. Saat itu, telah terjadi pertempuran di laut antara 3 kapal perang TNl AL (saat itu masih bernama ALRI atau Angkatan Laut Republik Indonesia) dengan 3 kapal perang AL Kerajaan Belanda.
Akhir Konflik Pembebasan Irian Barat
Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Irian Barat (sekarang Papua Barat) memiliki hak merdeka. Karena Indonesia mengklaim Papua bagian barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolaknya.
Dalam meyelesaikan persengketaan tersebut, akhirnya berdasarkan bagian dari Persetujuan New York, bahwa Indonesia berkewajiban untuk mengadakan "Penentuan Pendapat Rakyat" (Pepera) di Irian Barat sebelum akhir tahun 1969 dengan ketentuan bahwa kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda, akan menghormati keputusan hasil Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat tersebut.
Pada awal tahun 1969, pemerintah Indonesia mulai menyelenggarakan Pepera. Penyelenggaraan Pepera dilakukan 3 tahap yakni sebagai berikut, tahap pertama dimulai pada tanggal 24 maret 1969. Pada tahap ini dilakukan konsultasi dengan dewan kabupaten di Jayapura mengenai tata cara penyelenggaraan Pepera.
Tahap kedua diadakan pemilihan Dewan Musyawarah pepera yang berakhir pada bulan Juni 1969. Tahap ketiga dilaksanakan pepera dari kabupaten Merauke dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1969 di Jayapura.
Dari hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat tersebut, bahwa Irian Barat tetap menghendaki sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya hasil dari Pepera tersebut kemudian dibawa ke New York oleh utusan Sekjen PBB Ortizs Sanz untuk dilaporkan dalam Sidang Umum PBB ke-24 pada bulan November 1969.
Penyelesaian sengketa masalah Irian Barat antara Indonesia dengan Belanda melalui Persetujuan New York dan dilanjutkan dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dianggap merupakan cara yang adil dalam menyelesaikan konflik.
Baca Juga : Peran ABRI dalam Perkembangan Industri Musik Indonesia
Dalam persoalan Pepera menurut Persetujuan New York, pihak Belanda juga menunjukkan sikapnya yang baik. Kedua belah pihak menghormati hasil dari pendapat rakyat Irian Barat dalam menentukan pilihannya. Hasil dari Pepera yang memutuskan secara bulat bahwa Irian Barat tetap merupakan bagian dari Republik Indonesia.
Hasil Pepera ini membuka jalan bagi persahabatan RI-Belanda. Lebih-lebih setelah tahun 1965, hubungan Indonesia dengan Belanda sangat akrab dan banyak sekali bantuan dari Belanda kepada Indonesia baik melalui Inter Governmental Group for Indonesia (IGGI) atau di luarnya.
Akhirnya Sidang Umum PBB tanggal 19 November 1969 menyetujui hasil-hasil Pepera tersebut sehingga Irian Barat tetap merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia.
No comments